Selasa, 08 Maret 2011

Underfoot – not the usual straight and narrow

Renovation is nowhere on the horizon for me, and new construction is light years away, if ever, but if I had a project to do that involved flooring, I would definitely consider a Bolefloor.

The high-tech, milling method they employ uses more of the tree than conventional milling, thus being a bit more of an environmentally sound choice for wood flooring. For the time being, oak is the only choice, but other species will be available in a few months. Here's how they do it:

“Bolefloor technology combines wood scanning systems, tailor-made CAD/CAM developments and innovative optimization algorithms for placement software developed by a Finnish engineering automation company and three software companies in cooperation with the Institute of Cybernetics at Tallinn University of Technology.

Bolefloor scanners’ natural-edge visual identification technology evaluates “imperfections” such as knots and sapwood near the edges or ends so that floors are both beautiful and durable.
Our process manages and tracks each board from its raw-lumber stage through final installation. And every board is cut using the finest in Homag woodworking machinery.”

Well, whatever . . . it looks great, and would be a terrific subtle counterpoint to a right-angled Modern house. – GF

via Fast Company's Co.Design

MoTrad House - plumbing begun

Work has begun inside, and not much looks different outside, yet we have some new photos of the house from the owner.




There is some house wrap missing on this side, so still some catching up to do before the cladding goes on. The finish will be stucco. Click through for a photo browser of the new pictures.


Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer


Senin, 07 Maret 2011

Modern Discount in New Canaan


One of New Canaan's notable modern houses sold for $1,850,000 recently, after being listed two years ago for $3.5 million and then reduced a year later, to $2,199,000. It was designed by Victor Christ-Janer in 1949 for himself and his family.

Patch.com reported the sale today. Here's a link to previous posts about Christ-Janer on our blog.

If only the Alice Ball House were so lucky. -- ta

DESAIN





DESAIN

Menjawab Tantangan Berumah di Tanah Gempa

Gempa yang menggoyang Kota Padang, Jumat (3/12) pagi, meskipun ”hanya” berkekuatan 4,2 skala Richter, tetap membuat panik warga. Pusat gempa yang terletak di darat, di bagian timur laut Kota Padang, dan letaknya yang tidak terlalu dalam, 10 kilometer dari permukaan tanah, membuat getaran terasa kuat. Ninuk Mardiana Pambudy

Gempa di Kota Padang segera mengingatkan kita pada gempa di bagian barat Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, 25 Oktober lalu, yang berkekuatan 7,2 skala Richter. Gempa ini menimbulkan tsunami sehingga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa. Setahun sebelumnya, yaitu pada 30 September 2009, warga Kota Padang diguncang gempa besar berkekuatan 7,6 skala Richter yang terjadi menjelang magrib. Banyak korban meninggal karena tertimpa bangunan yang diduga kuat konstruksinya tidak memenuhi syarat.

Peristiwa gempa yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi seharusnya telah menjadi memori kolektif masyarakat Indonesia. Indonesia berada di wilayah rangkaian gunung berapi sehingga rawan gempa vulkanik, selain ancaman semburan materi debu dan pasir vulkanik; serta berada di pertemuan Lempeng Australia, Eurasia, Pasifik, dan Asia sehingga potensi terjadinya gempa sangat besar.

Meskipun sebagian besar gempa tidak menimbulkan korban jiwa—kecuali bila menimbulkan tsunami seperti di barat Aceh dan di barat Mentawai—gempa hampir selalu diikuti jatuhnya korban jiwa. Mereka biasanya meninggal karena tertimpa bangunan yang runtuh, seperti terjadi saat gempa di Nabire pada November 2004, di Yogyakarta pada Mei 2006, dan Kota Padang pada Oktober 2009.

Jatuhnya korban jiwa akibat gempa sangat bisa diminimalkan apabila warga dan pemerintah bersama-sama berusaha mengubah cara pandang tentang hidup di Indonesia sebagai negeri gempa. Salah satunya adalah membangun kesadaran pentingnya desain dan konstruksi bangunan tahan gempa.

Tantangan

Kemakmuran telah mengubah gaya hidup masyarakat. Segala sesuatu yang berasal asli dari Indonesia sempat dipandang sebagai ketinggalan zaman, termasuk arsitekturnya. Secara kasatmata hal tersebut terlihat dari desain fisik bangunan, antara lain terlihat dari populernya desain yang mengacu pada desain kawasan Laut Tengah (Mediterania) atau gaya barok yang penuh ornamentasi.

Kehadiran arsitek Belanda di Indonesia meninggalkan jejak bagaimana menggabungkan antara desain dan disiplin ilmu pengetahuan arsitektur dari Barat (Belanda) dengan ciri-ciri iklim tropis dan kondisi sosial Indonesia. Ini antara lain terlihat pada karya Maclaine Pont (antara lain Sekolah Tinggi Teknik Bandung dan Gereja Pohsarang, Jawa Timur) dan Thomas Karsten. Kombinasi itu diambil bukan hanya dari bentuk fisik, tetapi juga pemakaian bahan bangunan, seperti kayu dan batu, dan pembagian ruang.

Dalam arsitektur modern Indonesia, upaya mengembangkan arsitektur yang berangkat dari kondisi sosial, budaya, dan lingkungan fisik Indonesia terus dilakukan, antara lain oleh F Silaban melalui gedung Bank Indonesia dan Mangunwijaya.

Kini, muncul tantangan yang lebih dari sekadar menanggapi bentuk fisik, yaitu pentingnya unsur keselamatan penghuni bangunan menghadapi konsekuensi posisi geografi Indonesia yang berada di kawasan rawan gempa.

Memori kolektif masyarakat Nusantara sebetulnya tecermin dari bentuk dan konstruksi desain bangunannya. Memori kolektif itu spesifik merespons keadaan lingkungan. Kenyataan bahwa hampir semua bangunan asli Nusantara berbahan baku kayu dan berupa rumah panggung atau berfondasi umpak bukannya tanpa alasan.

Kayu merupakan bahan baku yang mudah didapat karena iklim tropis basah memungkinkan tanaman tahunan tumbuh cepat dengan matahari melimpah dan curah hujan cukup. Bentuk rumah panggung selain mengantisipasi curah hujan yang tinggi dan sekaligus tempat ternak, bukan tidak mungkin sebagai respons terhadap gempa, sama seperti fondasi umpak.

Bangunan asli

Arsitek Yori Antar yang menaruh perhatian pada desain arsitektur vernakular yang berangkat dari kondisi lokal mengatakan, rata-rata rumah tradisional memiliki ”konstruksi goyang”. Sambungan bangunan-bangunan berbahan kayu tersebut memakai sistem knock-down atau diikat dengan tali anyaman. Pilihan tersebut membuat konstruksi bangunan sangat elastis. Elastisitas yang tinggi tersebut memungkinkan bangunan asli tersebut merespons dengan baik gempa yang akrab dengan daerah-daerah di Nusantara.

Yori mencontohkan rumah di Nias, Sumatera Utara. Bentuk tiang penyangga rumah panggung dari kayu tersebut saling menyilang sangat rumit. Bentuk rumah panggung tersebut bukan dimaksudkan untuk mengandangkan ternak di kolong rumah, melainkan untuk menghadapi gempa seperti yang terjadi pada 28 Maret 2005 dengan kekuatan 8,2 skala Richter. Gempa mengubur ratusan orang di bawah reruntuhan bangunan di Nias.

”Sekitar 700 korban jiwa di Nias semuanya karena tertimpa bangunan tembok. Yang tinggal di rumah asli Nias hanya satu orang yang meninggal. Rumahnya di bukit dan terguling,” kata Yori. ”Rumah-rumah asli Nias dibuat bukan hanya untuk menghadapi guncangan horizontal, tetapi juga vertikal.”

Fondasi umpak yang menjadi fondasi banyak rumah asli Indonesia tampaknya juga untuk merespons gempa, seperti rumah-rumah di Kampung Naga yang berada di pinggir jalan raya Garut-Tasikmalaya, Jawa Barat.

Fondasi umpak berupa tumpukan batu yang sebagian ditanam, di atasnya bangunan diletakkan sejarak sekitar setengah meter dari fondasi batu. Bangunan terbuat dari kayu dan bambu, dengan tiang bangunan disambung menggunakan sistem knock-down dan diikat tali. Bentuk konstruksi tersebut memungkinkan rumah bergerak fleksibel ketika terjadi guncangan. Manfaat lain adalah memudahkan pemindahan rumah secara utuh ketika ada penambahan keluarga baru, seperti yang disaksikan Kompas awal November 2009.

Arsitektur yang merespons kondisi lingkungan juga tampak jelas di Wae Rebo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Yori dan teman-teman arsitek dengan dukungan Yayasan Tirto Utomo ikut merekonstruksi ulang rumah tradisional di sana yang tinggal empat dari tujuh rumah. Bentuk rumah yang seperti kerucut bulat menurut Yori merupakan respons atas tiupan angin di bukit-bukit. Keseluruhan rumah itu juga merupakan gambaran kekerabatan masyarakat setempat.

Tentu sulit mengharapkan orang kota (dan mengota adalah arus yang sepanjang sejarah peradaban manusia adalah kepastian) tinggal kembali ke kampung atau membangun rumah seperti rumah Nias, rumah Kampung Naga atau rumah Wae Rebo di kota. Yang bisa dipelajari adalah kearifan lokal masyarakat yang belajar dari pengalaman empirisnya, Yaitu membangun bangunan yang merespons lingkungan dengan bijak.

Dalam hal berumah di tanah gempa adalah memperbaiki teknologi membangun rumah menggunakan ”konstruksi goyang”, fleksibel terhadap guncangan, dan yang dapat dijangkau masyarakat segala lapisan. Inilah tantangan untuk para ahli konstruksi, arsitek, dan ahli sosiologi perkotaan.

Rumah Berukir Falsafah Hidup



BAGHI BESEMAH

Rumah Berukir Falsafah Hidup

Rumah baghi besemah yang berusia ratusan tahun di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, hingga saat ini masih bertahan karena menggunakan material kayu yang kuat.

Berkunjung ke Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, belum lengkap jika tidak menyinggahi salah satu rumah tradisional (baghi) suku Besemah. Selain desain arsitektur yang menarik, fisik bangunan yang usianya ratusan tahun itu mengundang kekaguman bagaimana rumah tersebut dibangun.

Hal itu terutama bila melihat 15 buah tiang kayu penyangga bangunan berukuran 30 sentimeter x 30 sentimeter, enam tiang penyangga teras rumah berbentuk bulat dengan diameter sekitar 60 sentimeter, dan papan kayu rumah dengan ketebalan sekitar 5 sentimeter. Kita pasti akan bertanya-tanya, bagaimana orang-orang pada masa lalu mengangkut kayu-kayu raksasa tersebut dari dalam hutan.

Oleh karena itu, tak salah jika Pemerintah Kota Pagar Alam memasukkan rumah-rumah tradisional Besemah sebagai obyek wisata, selain benda-benda megalitikum dan wisata alam Gunung Dempo. Jumlah baghi besemah memang tidak banyak karena hanya orang-orang yang memiliki strata sosial tinggi dan punya banyak uang yang mampu membangun rumah tersebut.

”Biaya ukir rumah bisa mencapai sepertiga dari biaya total pembangunan rumah,” kata pemilik baghi besemah, Musa Akib (69), di Kelurahan Pagar Wangi, Dempo Utara, Pagar Alam.

Mengenai bagaimana kayu dikumpulkan, Musa mengatakan kisah pembangunan rumahnya mengandung cerita mistis. Konon saat rumah akan dibangun, warga di sekitarnya dilarang keluar rumah pada malam hari karena akan ada pengiriman kayu. Setelah itu, keesokan paginya, kayu-kayu tiang yang dibutuhkan sudah ada di lahan pembangunan rumah.

Musa adalah generasi kelima pemilik baghi tersebut. Rumah yang terletak di tengah sawah itu diperkirakan berumur lebih dari 200 tahun. Namun, rumah yang sudah tak dihuni itu masih terlihat kokoh. Warna hitam kayu juga terlihat masih baru dan alami, tanpa dicat. Dulu, atap rumah terbuat dari daun ijuk.

Bagian dalam rumah baghi tidak memiliki sekat sama sekali. Bagian inti rumah berukuran 8 meter x 8 meter. Ruang ini berfungsi sebagai ruang keluarga, ruang tidur, sekaligus tempat menerima tamu.

Ukiran

Ketua Lembaga Adat Besemah Haji Akhmad Amran mengatakan, rumah baghi yang diukir disebut sebagai rumah tatahan (ukiran), sementara rumah yang tak diukir disebut rumah gilapan. Kualitas kayu rumah yang diukir juga jauh lebih baik dibandingkan dengan rumah yang tak memiliki ukiran.

”Bentuk kedua rumah itu sama. Hanya ada tidaknya ukiran yang membedakan karena keberadaan ukiran merupakan cerminan status sosial pemilik rumah yang tinggi,” katanya.

Dalam motif ukiran juga terkandung doa dan harapan. Motif bunga dalam posisi vertikal merupakan pengharapan bahwa rezeki pemilik rumah akan terus naik. Sementara motif bunga horizontal menjadi perlambang persatuan dan gotong royong.

Motif ukir lain yang unik adalah bubulan yang berbentuk lingkaran. Motif ukir yang biasanya terletak di dinding samping rumah itu merupakan simbol persatuan yang kuat di antara sesama penghuni rumah. Bagian tengah bubulan umumnya terdapat lubang yang digunakan sebagai tempat mengintip penghuni rumah terhadap kondisi dan suasana di luar rumah.

Musa mengaku, sejumlah orang telah menawar untuk membeli rumahnya, tetapi dia tidak akan pernah tertarik berapa pun harga yang ditawarkan. Sikap Musa mewakili banyak orang Pagar Alam yang menganggap tempat tinggal sebagai tempat bersatunya keluarga untuk tumbuh lebih maju, seperti falsafah hidup dari setiap ukiran yang ada di dinding baghi besemah. (WAD/MZW/BOY)

Minggu, 06 Maret 2011

Hadirkan Atwork dalam Ruang


Hadirkan Atwork dalam Ruang


Executive summary By Kevin

Terlepas dari desain dari tiap furniture yang digunakan dalam ruang, memadupadankannya dengan tepat merupakan resep utama untuk membuat tampilan ruang tampil apik. Jangan lupa “bumbu penyedapnya” yang tak kalah penting, member aksen lewat atwork atau benda seni.

Yangdimaksud dengan benda seni dalam hal ini adalah hasil karya yang memiliki cita rasa seni tinggi sekaligus mampu mendongkrak estetika desain ruang. Yang kerap ditemukan adalah lukisan, patung, atau bahkan lampu yang memiliki desain dan material unik sehingga menghasilkan pendaran cahaya yang tak kalah cantik tatkala lampu dinyalakan.

Bentuknya memang bisa beragam, yang perlu diperhatikan adalah harmonisasi warna, bentuk, maupun tema benda seni tersebut dengan ruangan secara keseluruhan. Kesesuaian gaya pada setiap elemen desain dalam setiap ruangan akan berpengaruh pada estetika desain maupun kenyamanan saat berada di dalamnya.

Bayangkan, apabila semua elemen saling tabrak tanpa ada benang merahnya, tentu akan member kesan ruangan sangat sesak dan tak sedap dipandang mata.

Selanjutnya, letakan bebnda seni pada tempat yang tepat. Benda seni ini bisa berfungsi lebih dari sekadar pelengkap desain, tetapi justru menjadi elemen desain yang utama. Sebuah lukisan berukuran besar, misalnya, bisa menjadi local point atau titik perhatian dseesain ruang secara keseluruhan. Tn lak sedikit yang memanfaatkan lukisan bergaya kontemporer dijadikan latar belakang untuk area duduk.

Bisa juga meletakan patung disalah satu sudut ruang, lalu tambahkan dengan teknik pencahayaan setempat agar semakin terlihat menonjol sekaligus estetik. Cara ini banyak digunakan untuk ruangan yang kental dengan gaya etnik maupun desain kontemporer.

Untuk menambah kesan etnik pun bisa dilakukan dengan memajang kain tenun tradisional pada sebuah dinding. Agar tampak serasi, kain dipajang dengan menggunakan kayu khusus yang tak kalah etnik, yang biasanya dihiasi dengan ukiran. Atau, justru menjadikannya sekat nonmasif dalam ruangan. Sederhana, tetapi bisa memberikan hasil memukau,bukan?

Dinding Sebagai Pusat Perhatian







Dinding Sebagai Pusat Perhatian


Executive summary by Kevin

Sebuah ruang yang keseluruhan dindingnya memiliki tampilan yang sama, tentu akan membosankan, lantaran ke mana pun pandangan diarahakan, yang terlihat hanya bidang yang sama.

Oleh karena itu, agar ruang lebih hidup, tambahkan aksen pada dinding. Ini artinya, kita memilih salah satu dinding untuk dijadikan pusat perhatian ruang agar fungsi ruangan lebih jelas, dan pandangan orang saat memasuki ruang pun akan lebih terarah.

Bagaiman membuat sebuah pusat perhatian pada dinding? Berikut beberapa panduan yang dapat diikuti.


1. Pilih hanya satu dinding saja. Disebuah ruang terdapat 4 sisi dinding yang berbeda, jika semuanya diolah, ruang akan tampak kacau karena masing-masing dinding akan “berebut” perhatian. Dinding ini sebaiknya berupa dinding yang langsung terlihat saat kita memasuki ruang, walaupun ini tidak mutlak tergantung ruangannya.

2. Bidang dinding yang dijadikan pusat perhatian sebaiknya polos (tanpa jendela atau pintu), agar ia lebih terlihat. Namun bila jendela yang ada di sebuah dinding justru menghadirkan pemandangan menakjubkan di luar sana, pilih dinding ini sebagai pusat perhatian. Jadikan warna pada dinding seolah membingkai pemandangan.

3. Untuk menjadi pusat perhatian, dinding dapat diolah dengan istimewa. Cara yang paling sederhana adalah memberikan lukisan besar, perangkat audio video, atau kepala tempat tidur. Cara lain adalah dengan member warna berbeda kepada dinding tersebut. Dinding dapat dicat, dilapis wallpaper, atau diberi panel dari material yang berbeda.

Yang penting, jangan ragu berekspresi saat menjadikan dinding sebagai pusat perhatian. Selamat mencoba.

Informasi lebih lanjut , silahkan baca atu lihat artikel-artikel di http://bilikbagus.blogspot.com semuanya gratis! Atau Anda ingin berkonsultasi denga detail-detail Interior,Design, Renovasi Rumah, Bahkan membangun rumah baru silahkan hubungi kami di Arsitektural Design (021)5687819